Apa dan Siapa
EITI (Extractive Industries Transparency Initiatives) adalah sebuah standar global bagi transparansi di sektor ekstraktif (termasuk di dalamnya minyak, gas bumi, mineral dan batubara). Bagian utama dari standar ini adalah proses dimana dilakukan perbandingan antara pembayaran kepada pemerintah yang dilakukan perusahaan di sektor ini dengan penerimaan pemerintah. Hasil dari proses yang disebut rekonsiliasi ini menjadi sebuah laporan dan dipublikasikan ke masyarakat.
Proses yang menggunakan Administrator Independen ini dilakukan di bawah pengawasan kelompok multi-pemangku-kepentingan atau yang disebut multi-stakeholder working group (MSWG).
Pelaksanaan EITI suatu negara akan dinilai oleh validator independen untuk menentukan apakah negara tersebut dapat resmi disebut “patuh EITI” (compliant country). Begitu suatu negara resmi menjadi negara patuh-EITI, maka proses EITI harus dilakukan setiap tahun.
EITI di Indonesia
Gelombang yang menuntut transparansi di sektor industri dimulai akhir 1999 ketika Global Witness, sebuah LSM, mempublikasikan laporan “A Crude Awakening” tentang konflik di Angola dimana terjadi penggelapan penerimaan negara dari sektor minyak yang dilakukan elit negara tersebut.
Ketiadaan transparansi di sektor industri ekstraktif pada waktu itu, terutama di negara miskin pemilik sumber daya alam berlimpah, mendorong berbagai organisasi masyarakat sipil internasional bersama-sama berkampanye Publish What You Pay (PWYP) di tahun 2002, mengajak perusahaan industri ekstraktif untuk menginformasikan pembayaran kepada pemerintah.
Dorongan untuk transparansi ini direspon oleh praktisi pembangunan dan akademisi. Bank Dunia meninjau kembali prakteknya terhadap industri ekstraktif, dan kemudian Perdana Menteri Inggris Tony Blair memulai prakarsa transparansi di sektor industri ekstraktif (Extractive Industries Transparency Initiative) atau EITI, di forum World Summit for Sustainable Development, Johannesburg, 2002. Tahun berikutnya, G-8 menerbitkan deklarasi berjudul “Fighting Corruption and Improving Transparency” yang memprioritaskan transparansi di industri ekstraktif.
Gelombang transparansi akhirnya menciptakan koalisi global dari unsur pemerintah, korporasi, organisasi masyarakat madani, investor serta institusi finansial internasional.
Di Indonesia, prakarsa transparansi penerimaan negara dari industri ekstraktif ini dimulai 2007 ketika Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani menyatakan dukungan bagi EITI pada perwakilan dari Tranparency International Indonesia. Wakil Ketua KPK pada saat itu, Erry Riyana Hardjapamekas dan Deputi KPK untuk Pencegahan Waluyo meninjau persiapan dasar hukum pelaksanaannya. Peraturan Presiden mengenai EITI lalu dibahas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Tahun berikutnya Menko bidang Perekonomian saat itu, Boediono, memimpin rapat koordinasi untuk EITI, dan akhirnya di tahun 2010 Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Presiden no 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang diperoleh dari dari Industri Ekstraktif.
Mengapa Ada Negara Maju yang memiliki industri ekstraktif tidak masuk EITI?
Konsentrasi EITI adalah pada Negara yang memiliki ketergantungan pada industri ekstraktif dan lemahnya tata kelola sumber daya alam (governance) tersebut. pada awal tahun 2000an negara-negara yang menjadi pelaksana EITI hanya berasal dari negara-negara berkembang yang kaya energi, terutama negara-negara Afrika dan Amerika Selatan. Saat ini, beberapa negara maju atau G8 juga menjadi negara pelaksana EITI yaitu: Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman.
EITI di Indonesia
Negara Indonesia diterima secara resmi sebagai Kandidat Negara pelaksana EITI pada tanggal Oktober 2010 diumumkan di Dar-Es- Salaam, Tanzania dalam EITI Board Meeting. Kriteria negara compliance EITI harus dicapai Indonesia dalam waktu 2.5 (dua setengah) tahun. Dalam melaksanakan EITI, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengungkapkan semua pajak, royalti dan biaya yang diterima dari sektor minyak, gas dan pertambangan.
Perusahaan yang beroperasi di sektor ini akan menerbitkan apa yang mereka telah dibayar kepada pemerintah. Angka-angka ini akan direkonsiliasi oleh Administrator Independen, dalam proses yang diawasi oleh perwakilan dari pemerintah, industri dan organisasi masyarakat sipil.
EITI menuntut partisipasi aktif dari pemangku kepentingan yang luas. Pemangku kepentingan didefinisikan sebagai perorangan, masyarakat, kelompok, dan organisasi yang memiliki kepentingan terhadap hasil EITI dan mereka yang bisa mempengaruhinya. Multi stakeholder Group (MSG) mencakup perwakilan dari pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta.
Kegiatan pelaksanaan EITI Indonesia saat ini dikoordinasikan di bawah kantor Deputi Bidang Koordinasi Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Untuk membantu pelaksanaan EITI di Indonesia telah dibentuk satu kantor Sekretariat EITI Indonesia di bawah instansi tersebut.
Dasar Hukum
PERATURAN PRESIDEN (PerPres) No. 26/2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang Diperoleh dari Industri Ekstraktif ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 23 April 2010.
Ini merupakan suatu landasan formal terhadap proses implementasi EITI di Indonesia dengan mengutamakan prinsip-prinsip peningkatan kesejahteraan umum, good governance, transparansi, sustainable development serta keterlibatan dari berbagai pemangku kepentingan seperti instansi pemerintah, NGOs, CSO serta kalangan bisnis sesuai prinsip-prinsip dan kriteria dari EITI.
Kelompok multi-pemangku kepentingan di Indonesia diwujudkan dalam sebuah tim yang diatur berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010, yaitu Tim Transparansi. Tim Transparansi terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Pelaksana.